Pertama, MKK menimbang bahwa perilaku hakim terlapor
Akil Mochtar terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim konstitusi prinsip
ke empat, yakni kepantasan dan kesopanan penerapan angka dua yang menegaskan
sebagai abdi hukum yang terus menerus menjadi pusat perhatian masyarakat hakim
konstitusi harus menerima pembatasan-pembatasan pribadi yang mungkin dianggap
membebani dan harus menerimanya dengan rela hati serta bertingkah laku dengan
martabat mahkamah. Perilaku yang dimaksud yakni saat Akil Mochtar bepergian ke
Singapura pada 21 September dan ke beberapa negara lainnya tanpa pemberitahuan
ke Sekretariat Jenderal MK.
"Seyogyanya setiap kalau pergi ke luar negeri beritahu sekjen. Apakagi hakim terlapor yang saat itu menjabat Ketua MK, harus diketahui keberadaannya. Setiap saat untuk mengantisipasi jika terjadi sesuatu di MK yang dipimpinnya meskipun tidak diketahui kegiatan pribadinya," ujar Anggota Majelis Kehormatan Konstitusi (MKK) Mahfud MD, saat membacakan putusan di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat (1/11/2013).
Berdasarkan perilaku Akil tersebut, lanjut dia, MKK berpendapat hakim terlapor (Akil) terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi. Selain itu Akil juga melanggar kepemilikan mobil sedan Mercedes Benz S-350 dengan mengatasnamakan sopir Akil.
Kedua, Akil Mochtar terbukti melanggar prinsip ketiga, yakni integritas penerapan angka 1 yang menyatakan hakim konsitusi menjamin agar perilakunya tidak tercela dari sudut pandang pengamatan yang layak.
Selain itu Akil Mochtar juga terbukti melanggar ketentuan Pasal 23 Huruf b Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK sebagaimana telah diubah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK yang menyatakan hakim konstitusi diberhentikan dengan tidak hormat apabila melakukan perbuatan tercela.
Pelanggaran tersebut yakni, Akil Mochtar yang tidak mendaftarkan mobil Toyota Crown Athlete ke Ditlantas Polda Metro Jaya yang mencerminkan perilaku tidak jujur, penemuan narkotika dan obat-obatan terlarang di ruang kerja Akil.
Ketiga, Akil Mochtar terbukti melanggar prinsip pertama yakni independensi penerapan angka satu yang menegaskan hakim konstitusi harus menjalankan fungsi judisialnya secaran independen atas dasar penilaian terhadap fakta-fakta, menolak pengaruh dari luar tanpa bujukan, iming-iming, tekanan dan ancaman atau campur tangan dari siapa pun dengan alasan apapun sesuai dengan penguasaannya atas hukum.
Perilaku tersebut yakni pertemuan Akil Mochtar dengan anggota DPR RI berinisial CHN di ruang kerjanya tanggal 9 Juli 2013 dan dihubungkan dengan penangkapan anggota DPR CHN yang berada di tempat yang sama dengan Akil saat ditangkap KPK.
"Menimbang bahwa perilaku hakim terlapor adakan pertemuan dengan CHN (Anggota DPR) pada 9 juli 2013, dan dikaitkan dengan tertangkap keduanya bersama, menimbulkan keyakinan MKK bahwa pertemuan tersebut berkaitan dengan perkara yang sedang ditangani hakim terlapor," kata Abbas Said, anggota MKK.
"Seyogyanya setiap kalau pergi ke luar negeri beritahu sekjen. Apakagi hakim terlapor yang saat itu menjabat Ketua MK, harus diketahui keberadaannya. Setiap saat untuk mengantisipasi jika terjadi sesuatu di MK yang dipimpinnya meskipun tidak diketahui kegiatan pribadinya," ujar Anggota Majelis Kehormatan Konstitusi (MKK) Mahfud MD, saat membacakan putusan di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat (1/11/2013).
Berdasarkan perilaku Akil tersebut, lanjut dia, MKK berpendapat hakim terlapor (Akil) terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi. Selain itu Akil juga melanggar kepemilikan mobil sedan Mercedes Benz S-350 dengan mengatasnamakan sopir Akil.
Kedua, Akil Mochtar terbukti melanggar prinsip ketiga, yakni integritas penerapan angka 1 yang menyatakan hakim konsitusi menjamin agar perilakunya tidak tercela dari sudut pandang pengamatan yang layak.
Selain itu Akil Mochtar juga terbukti melanggar ketentuan Pasal 23 Huruf b Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK sebagaimana telah diubah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK yang menyatakan hakim konstitusi diberhentikan dengan tidak hormat apabila melakukan perbuatan tercela.
Pelanggaran tersebut yakni, Akil Mochtar yang tidak mendaftarkan mobil Toyota Crown Athlete ke Ditlantas Polda Metro Jaya yang mencerminkan perilaku tidak jujur, penemuan narkotika dan obat-obatan terlarang di ruang kerja Akil.
Ketiga, Akil Mochtar terbukti melanggar prinsip pertama yakni independensi penerapan angka satu yang menegaskan hakim konstitusi harus menjalankan fungsi judisialnya secaran independen atas dasar penilaian terhadap fakta-fakta, menolak pengaruh dari luar tanpa bujukan, iming-iming, tekanan dan ancaman atau campur tangan dari siapa pun dengan alasan apapun sesuai dengan penguasaannya atas hukum.
Perilaku tersebut yakni pertemuan Akil Mochtar dengan anggota DPR RI berinisial CHN di ruang kerjanya tanggal 9 Juli 2013 dan dihubungkan dengan penangkapan anggota DPR CHN yang berada di tempat yang sama dengan Akil saat ditangkap KPK.
"Menimbang bahwa perilaku hakim terlapor adakan pertemuan dengan CHN (Anggota DPR) pada 9 juli 2013, dan dikaitkan dengan tertangkap keduanya bersama, menimbulkan keyakinan MKK bahwa pertemuan tersebut berkaitan dengan perkara yang sedang ditangani hakim terlapor," kata Abbas Said, anggota MKK.
Sumber :
Opini :
Korupsi di negeri ini
seperti rumput yang sangat subur. Tidak diinginkan dan terus dibersihkan namun
tetap tumbuh. Dapat dilihat bagaimana Komisi Pemberatantasan Korupsi terus
berusaha mengungkap semua kasus korupsi. Bahkan sekarang ini korupsi merambah
ke institusi penegak hukum.
Lembaga penegak hukum
sekelas Mahkamah Konstitusi yang merupakan lembaga hukum tertinggi di Negara Indonesia
ini tidak luput dari jerat hukum. Padahal banyak masyarakat yang mengharapkan
angin segar atau keadilan yang dapat diciptakan oleh MK.
MK adalah lembaga Negara
yang dibentuk untuk melakukan judivial review kasus pilkada, dan uji materi
undang-undang, jadi jika ada masyarakat yang keberatan dengan undang-undang
yang baru di sahkan DPR dan pemerintah, masyarakat bisa mengajukan banding ke
MK. Atau jika ada calon kepala daerah keberatan dengan sengketa pilkada bisa di
ajukan juga ke MK jika tidak puas dengan gugatan di Mahkamah Agung sebelumnya.
Namun perjuangan MK
selama 10 tahun sia-sia, seketika kepercayaan publik kepada Mahkamah Konstitusi
hilang akibat terungkapnya kasus ketua MK Akil Mochtar. Ini bukti bahwa jabatan dan kekuasaan yang tinggi
bisa membuat siapapun jatuh pada kasus korupsi. Padahal saat Akil dilantik
sebagai ketua MK menggantikan Mahfud MD ia pernah mengatakan “seharusnya
koruptor di potong jarinya” akan tetapi pernyataannya itu sekarang seperti
senjata makan tuan.
Akil sebelumnya adalah
anggota partai Golkar , harusnya sebelum presiden memutuskan memilih calon
anngota MK dilihat terlebih dahulu integritasnya, bukan berarti tidak setuju
politisi masuk MK akan tetapi lebih baik seorang professional. Parahnya lagi
dia melakukan tindak pencucian uang, dengan cara membuat akta fiktif perusahaan
atas nama istrinya dan membuat bpkb mobil atas nama sopir pribadinya.
Hakim MK terdiri dari 9
orang, 3 orang dipilh dari Mahkamah Agung, 3 orang di pilih DPR dan 3 orang
lainnya dipih oleh presiden. Semestinya komisi 3 DPR dan kementrian hukum dan
ham segera melakukan revisi UU MK agar nantinya kewenangan MK yang begitu besar
tidak disalah gunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.